Jumat, 25 Mei 2012
no image
  • Title : Tingkah laku tercela
  • Author :
  • Date : 23.26
  • Labels :

Tingkah laku tercela

                                                                   KATA PENGANTAR


Puji dan syukur marilah senantiasa kita panjatkan ke khadirat Allah SWT. karena berkat rahmat dan hidayah-Nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tepat pada waktunya.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita hijrah dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang oleh cahaya keilmuan.
Terima kasih penulis sampaikan kepada dosen pembimbing mata kuliah hadits yang telah memberikan arahan yang sangat membantu penulis dalam menyusun makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis berusaha untuk menyajikannya secara sistematis, sederhana, dan praktis agar dapat dengan mudah dipelajari dan dihayati oleh para mahasiswa dan mereka yang memiliki perhatian besar dalam mempelajari hadits.
Penulis berharap agar makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca sekalian pada umumnya dan kepada kami penulis pada khususnya. Aamiin…….
Selanjutnya penulis menyadari bahwa dalam  penulisan makalah ini masih banyak kekeliruan dan kekurangan disana sini, sehingga penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca yang budiman demi perbaikan makalah ini kedepannya.



Palembang, 20 april 2012


ttd       



Penulis



PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang
Remaja merupakan sosok menarik yang tak habis-habisnya untuk diperbincangkan. Masa remaja merupakan masa memberi banyak kenangan, selain karena penuh gejolak dan tantangan, juga karena remaja memiliki dunia pergaulannya sendiri yang mempengaruhi perkembangan fisik dan psikisnya menuju dewasa dan tua. Namun sayangnya, dunia modern telah banyak memberi pengaruh buruk terhadap pergaulan remaja, khususnya remaja muslim. Bahkan pada remaja tertentu yang tidak tersentuh aturan islam, pergaulan mereka sudah bisa disebut tidak sehat untuk remaja muslim. Hal tersebut karena banyaknya faktor penghancur yang dari hari ke hari semakin banyak dan dahsyat, sementara remaja muslim sendiri tidak mengetahuinya dan tidak siap menghadapinya.
Membahas dan menghilangkan sifat-sifat tercela ini bagi mahasiswa maupun di kalangan masyarakat umum sangatlah penting, karena dengan kita mengetahui sifat-sifat ini kita dapat menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal tersebut. Ini termasuk usaha tahliyyah (mengosongkan / membersihkan diri dan jiwa) lebih dahulu sebelum diisi dengan sifat-sifat terpuji. Sifat tercela ini adalah terjemahan dari bahasa arab “sifahul mazmumah”, artinya sifat-sifat yang tidak baik yang tidak membawa seseorang manusia kepada pekerjaan-pekerjaan atau akibat-akibat yang membinasakan.
Imam Ghazali menyebut sifat-sifat tercela ini dengan sifat-sifat muhkilat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan, sifat-sifat yang tercela ini beliau sebut juga sebagai suatu kehinaan. Pada dasarnya sifat-sifat yang tercela dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir adalah segala sifat yang tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir seperti mulut, tangan, mata dan lain-lain. Sedangkan maksiat batin adalah segala sifat yang tercela yang diperbuat oleh anggota batin, yaitu hati.

Contoh-contoh dari sifat tercela ini  sangat banyak sekali, namun yang akan dibahas oleh penulis didalam makalah ini hanya sebagian kecil saja diantaranya yaitu:
1.    Buruk sangka (Suuzhan),
2.    Ghibah dan Buhtan, dan
3.    Boros (Konsumtif).
Akhlak tercela dalam Islam sangat membahayakan dalam pergaulan sehari-hari. Jadi sia-sialah segala amal kebaikan apabila penyakit hati berada dalam hati kita dan akan mengganggu pula ketenangan jiwa kita. Oleh sebab itu apabila penyakit hati sudah mulai bersarang dan berkembang di dalam hati segeralah diobati dengan jalan zuhud (tidak tertarik dan mementingkan kepada keduniawian).

2.    Rumusan Masalah
a.    Definisi Boros dan batasan-batasannya
b.    Ghibah dan Buhtan
c.    Larangan memiliki sifat Konsumtif (Boros)





PEMBAHASAN

TINGKAH LAKU TERCELA

A.    BURUK SANGKA (Suuzhan)
Buruk sangka adalah merupakan suatu perbuatan yang timbulnya dari lidah, tidak ada buruk sangka terhadap seseorang, jika lidah tidak bicara / mengata-ngatai.
Sesungguhnya prasangka buruk terhadap seorang muslim disertai fakta yang benar merupakan kendaraan melalui jalan yang kasar dan aib, serta dapat menjadi wabah kemadharatan bagi masyarakat Islam. Prasangka buruk bukanlah suatu dosa bila hanya bisikan hati sesaat dalam jiwa manusia.
Prasangka dihasilkan dari perbuatan dan perkataan seseorang atau gerak gerik orang yang mendapat tuduhan tertentu dari orang lain. Biasanya prasangka timbul bila seseorang berada dalam situasi yang sulit. Secara psikologis prasangka dapat melahirkan kecenderungan hati untuk menuduh orang lain yang menganggap jelek diri kita. Oleh karena itu Nabi bersabda :

حَدِيْثُ اَبِىْ هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللٌّهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللٌّهِ صَلَّى اللٌّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ اَكْذَ بُ الْحَدِيْثِ {رواه البخارى}

Artinya: “Abu Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulallah SAW bersabda, “berhati-hatilah kalian dari buruk sangka. sebab buruk sangka itu sedusta-dusta cerita (berita)”.(H.R Bukhari)

Berprasangka buruk yang dimaksud disini adalah  prasangka buruk. Al- Khuthabi mengatakan: “yang prasangka buruk yang diharamkan Allah SWT. adalah yang tertanam dalam hati secara terus menerus.

Buruk sangka adalah menyangka seseorang berbuat kejelekan atau menganggap jelek tanpa adanya sebab-sebab yang jelas yang memperkuat sangkaannya.  Orang yang telah melakukannya berarti telah berbuat dosa sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an:

يَا اَ يُّهَا الَّذِ يْنَ اٌمَنُوْا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ....................

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa”.(Q.S.Al-Hujarat: 12)

Apalagi kalau berburuk sangka itu terhadap masalah-masalah aqidah yang harus diyakini apa adanya. Buruk sangka dalam masalah ini adalah haram hukumnya. Sebaliknya, berburuk sangka terhadap masalah-masalah kehidupan agar memiliki semangat untuk menyelidikinya, adalah diperbolehkan.
Buruk sangka dinyatakan oleh Nabi SAW., sebagai sedusta-dustanya ucapan. Buruk sangka biasanya berasal dari diri sendiri. Hal itu sangat berbahaya karena akan mengganggu hubungannya dengan orang lain yang dituduh jelek, padahal belum tentu orang tersebut sejelek persangkaannya. Itulah sebabnya, berburuk sangka sangat berbahaya, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa buruk sangka lebih berbahaya daripada berbohong.
Tuhan menyuruh kita untuk hanya mempunyai sangkaan yang baik. Tidak boleh mempunyai sangkaan yang buruk. Sebab dari titik tolak sangkaan kita itu akan menghasilkan keadaan yang sesuai dengan sangkaan kita itu. Jika kita menyangka Allah itu baik, maka Allah pun akan memperlakukan kita secara baik. Tetapi sebaliknya, jika kita berprasangkka buruk kepada Allah, maka Allah pun akan memperlakukan kita secara buruk pula. Seperti hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Abu Na’I yang artinya:

Artinya: “Aku (Allah) mengikuti sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. jika mereka menyangka baik, mereka akan Ku perlakukan baik. jika mereka menyangka buruk terhadap-Ku, merekapun akan Ku perlakukan secara buruk pula.”

Dampak negatif dari buruk sangka :
1.    Hancurnya ukhuwah dan hilangnya teman,
2.    Mudah berbuat dosa,
3.    Sulit untuk berbuat baik dan meminta maaf,
4.    Sulit untuk bekerjasama dengan orang lain, dan
5.    Biang provokator.

Secara Psikologis, orang yang memiliki sifat buruk sangka selalu menunjukkan perilaku sebagai berikut :
1.    Selalu menolak setiap kegagalan dan tindakan orang lain yang tidak simpatik atau tidak berkenaan dengan hatinya,
2.    Cenderung pendendam,
3.    Menyalahartikan tindakan dan sikap orang lain sebagai penghinaan dan permusuhan, dan
4.    Egois dan sok benar sendiri.

Sering kita melihat orang yang menuduh orang lain jelek, dan berusaha untuk mengintai orang lain tanpa hak, setelah meneliti dan menemukan suatu kesimpulan dia berghibah (membicarakan kejelekan) terhadap saudaranya yang muslim. Orang yang berbuat seperti itu sama saja dengan melakukan tiga dosa, yaitu dosa karena berprasangka, dosa dari menyelidiki kejelekan orang lain, dan dosa dari membicarakan kejelekan orang lain. Begitulah prasangka jelek itu akan menarik manusia berbuat dosa lebih banyak. Oleh karena itu Allah SWT melarang attjassus “mengintip-intip” dan ghibah. Setelah melarang suudzan “buruk sangka” sebagai peringatan terhadap orang Islam agar tidak menempatkan diri pada posisi yang menjurus kepada suudzan terhadap orang muslim yang adil dan terjaga dari perbuatan dosa.




B.    GHIBAH DAN BUHTAN
1.    Ghibah (menggunjing)
Ghibah (menggunjing) adalah membicarakan kejelekan orang lain dibelakang orangnya. Kejelekan yang dibicarakan itu baik tentang keadaan dirinya sendiri atau keluarganya, badannya, atau akhlaknya.

Sebagaimana sabda Nabi SAW. yang berbunyi:

كُلُ المُسْلِمْ عَلَ المُسلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ  وماَلُهُ و عِرْضُهُ
Artinya: “Setiap muslim terhadap muslim lainnya, haram darah, hartanya dan kehormatannya”. (H.R Muslim)

Rasulullah SAW. bersabda yang artinya:
“Hai golongan orang yang beriman hanya dengan lisannya, tetapi belum lagi beriman dengan hatinya. Janganlah kamu semua menggungjing orang-orang Islam dan jangan pula meneliti cela-cela mereka. Sebab barangsiapa yang meneliti cela saudaranya, maka Allah akan meneliti pula celanya dan barangsiapa yang diteliti celanya oleh Allah, maka Allah akan menampakkan sekalipun ia berada didalam rumahnya”. (H.R.Ibnu-Dunya & Abu Daud)

Seorang Hakim berkata: “Jika engkau tidak dapat mengerjakan yang tiga, maka kerjakanlah yang tiga:
1.    Jika engkau tidak berbuat kebaikan, maka jangan engkau berbuat kejahatan.
2.    Jika engkau tidak dapat berguna untuk manusia, maka engkau jangan kejam kepada mereka.
3.    Jika engkau tidak dapat berpuasa, maka engkau jangan makan daging manuisa (mengghibah).


Ghibah bukan hanya pada ucapan lidah, tetapi setiap gerakan, isyarat, ungkapan, sindiran, celaan, tulisan atau segala sesuatu yang dipahami sebagai hinaan. Mendengar orang yang sedang ghibah dengan sikap kagum dan menyetujui apa yang dikatakannya, hukumnya sama dengan ghibah. Pahala amal kebaikan orang yang melakukan ghibah akan diberikan kepada orang yang menjadi sasaran ghibahnya. Islam mengharamkan dan melarang ghibah karena boleh mengakibatkan putusnya ukhuwah, rusak kasih sayang, timbul permusuhan, tersebar aib, lahir kehinaan dan timbul keinginan untuk melakukannya.
Yahya bin Mu'aadz Arrazi berkata: Jadikanlah kebahagian orang mukmin daripadamu tiga macam supaya tergolong orang yang baik:
1.    Jika engkau tidak dapat menguntungkan kepadanya maka jangan merugikan (merusaknya)
2.    Jika engkau tidak dapat menyenangkannya, maka jangan menyusahkannya
3.    Jika engkau tidak memujinya, maka jangan mencelanya
   
Batasan-batasan ghibah
Perlu diketahui, bahwa batas suatu perkataan yang disebut ghibah adalah bila engkau menyebut tentang saudaramu menyangkut tentang segala sesuatu yang tidak disukainya bila ia sempat mendengarnya. 
Yang digunjing itu ada kalanya berhubungan dengan kekurangan-kekurangan yang ada dalam dirinya sendiri, dalam keturunanya, dalam prilakunya atau dunianya, bahkan juga dalam hal pakainnya, rumah ataupun kendaraannya.
Sebuah ucapan yang dapat dianggap meliputi hal menggunjing ialah apa yang disabdakan oleh Rasulallah SAW :

........... اَلْغِيْبَةُ ذِكْرُكَ اَخَاكَ بِمَا يَكْرَهَهَ .........
Artinya: “Ghibah (menggunjing) ialah apabila engkau menyebutkan prihal saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukai olehnya”. (H.R. Muslim)
   
Dalam hadits diatas dinyatakan bahwa yang diharamkan adalah menyebut cela saudara itu dengan lidah atau ucapan, sebab dengan ucapan itu dapat dimengerti apa yang menjadi kekurangan saudaranya itu apabila didengar oleh orang lain dan jikalau orang yang dikatakan itu diberi tahu, tentulah ia merasa tidak senang mendengarnya. Oleh karenanya cara memberikan pengertian itu tidak hanya dengan ucapan saja, maka sekalipun dengan menggunakan kata pembelokan juga diharamkan, jikalau memang itu dimaksudkan sebagai pengumpatan atau penggunjingan. Jadi samalah halnya dengan menggunakan kata terang-terangan.
Melakukan pengumpatan dengan perbuatan seperti menirukan saudaranya yang berjalan timpang, samalah hukumnya dengan mengucapkannya. Bahkan segala Sesutu yang bertujuan sebagai ghibah itu pun dilarang oleh agama, misalnya yang dilakukan dengan isyarat, pemberian tanda, mengedip-ngedipkan mata, celaan, tulisan, gerakan dan lain-lain. Pendeknya apa saja yang dapat diambil dari pengertian ghibah dengan jalan apa pun, hukumnya adalah sebagaimana ghibah dengan terang-terangan yang diharamkan.

Berbagai macam ghibah yang kurang disadari
Diantara ghibah yang kurang disadari adalah sebagai berikut: 
1.    Kita mengucapkan: “siapakah yang baru datang dari bepergian itu?”, atau: “siapakah yang berjalan disini tadi?” maksudnya sebagai ejekan kepada yang baru datang atau yang berjalan. Maka jikalau yang diajak bercakap-cakap mengerti tujuannya, itulah ghibah namanya.
2.    Ada orang yang sudah mengerti cela orang lain, lalu orang itu mengucapkan sebagai suatu doa umpamanya ia mengatakan: “Alhamdulillah, kita tidak diberi bala’ (cobaan), begini”. Padahal cobaan yang dimaksudkan itu ada pada diri orang lain yang dituju tadi.
3.    Ada pula yang memulai ghibahnya dengan mengemukakan pujian kepada orang yang hendak digunjingnya. ia berkata: “ Alangkah baiknya hal ihwal orang itu, tetapi ia memperoleh bala’, sebagaimana kita juga pernah menerima bala’ semacam itu”. Selanjutnya ia menyebutkan perihal dirinya sendiri, sedang tujuannya ialah hendak mencela orang lain itu denga cela yang sejenis dengan yang pernah dialaminya.
4.    Lagi pula seperti seseorang yang menyebutkan cela-cela orang lain tetapi masih belum dapat ditangkap tujuannya oleh orang-orang yang mendengarkannya, kemudian ia berkata: “Subhanallah, mengherankan betul itu”. Akhirnya dengan ucapan ini orang lain pun lalu dapat mengerti dan memahami siapa yang dituju. Jadi orang tersebut telah mencatat kalimat suci dengan menyebutkan Allah Ta’ala, nama yang mulia ini digunakan untuk menyetakan isi hatinya yang buruk itu.
5.    Juga seperti orang yang berkata: “Ah, kita juga merasa tidak enak dan ikut berduka cita pula sebab ada suatu hal yang menimpa saudara kita itu”. Padahal maksudnya hanyalah untuk meremehkan kawannya itu saja. Jadi ia berdusta dalam mengemukakan penyesalan dan duka citanya tadi, sebab andai kata ia benar-benar ikut berduka cita, tentunya ia menyusahkan apa yang tidak diinginkannya.
6.    Demikian pula orang yang berkata: “Orang miskin itu benar-benar diberi cobaan yang berat. Semoga Allah menerima tobatnya dan tobat kita juga”. Padahal tujuannya mengatakan ini bukannya benar-benar mendoakan kebaikan. Hanya tampaknya saja yang demikian. Allah adalah maha mengetahui bahwa hatinyalah yang buruk dan maksud yang disembunyikan itu pun dimaklumi pula olehnya. Namun demikian, karena kebodohannya sehingga tidak mengerti bahwa apa yang telah dilakukan itu menyebabkan ia akan memperoleh kutukan yang amat besar sekali.
Apakah orang yang mendengarkan juga termasuk melakukan ghibah?
Seseorang yang mendengarkan ghibah, lalu ia menunjukkan keta’jubannya (keheranannya), maka berartilah bahwa menunjukkan yang demikian itu sebagai suatu pendorong agar orang yang menggunjing itu lebih giat dan lebih semangat untuk terus menggunjing. Jadi malah bukan menghentikannya.
Bahkan seseorang yang terus berdiam saja di waktu mendengar ada orang yang menggunjing orang lain itupun bersekutu pula dalam berdosa. Maka untuk tidak ikut-ikut mendapatkan dosanya, baiklah diwaktu kita mendengar orang menggunjing, langsung saja kita mengingkarinya dengan lidah yakni menyuruh menghentikan gunjingannya dan dialihkan pada pembicaraan yang lain. Sekiranya pengingkaran dengan lidahnya tidak dapat dilaksanakan, maka hendaklah dengan hatinya saja, misalnya karena takut orang itu akan menentang. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:

مَنْ اُذِ لَّ عِنْدَهُ مُؤْمِنٌ فَلَمْ يَنْصُرُهُ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَى نَصْرِهِ اَذَ لَّهُ اللٌّهُ يَوْمَ الْقِيَا مَةِ عَلَى رُءُوْسِ الْخَلاَءِقِ (روه الطبرانى)

Artinya: “Barangsiapa yang dimukanya ada seorang mukmin direndahakan oleh orang lain, kemudian ia tidak menolongnya, sedang ia kuasa untuk menolongnya itu maka ia akan direndahkan oleh Allah pada hari kiamat dihadapkan khalayak ramai”. (H.R. Imam Thabrani)

Dan dalam riwayat lain disebutkan sabda beliau SAW:

مَنْ رَدَّعَنْ عِرْضِ اَخِيْهِ بِالْغَيْبِ كَا نَ حَقًّا عَلَى اللٌهِ اَنْ يَرُدَّ عَنْ عِرْضِهِ يَوْمَ الْقِيَا مَةِ  (رواه ابن ابى الدّ نيا)
Artinya: “Barangsiapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya diwaktu tidak ada dimukanya, maka haklah atas Allah untuk mempertahankan kehormatannya pada hari kiamat”. (H.R. Ibnu Abid-Dunya)

Hal-hal yang menimbulkan ghibah
1.    Ingin menghilangkan kemarahan
Memang, ada kalanya juga keinginan untuk melenyapkan kemarahan itu tidak ditampakkannya, tetapi lalu dipendam saja didalam hati, sehingga akhirnya menjadi suatu dendam kesumat yang lebih berbahaya. Inipun dapat pula menyebabkan timbulnya penggunjingan yakni menyebut-nyebutkan kejelekan orang lain. Oleh sebab itu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pendorong utama dari mengumpat itu ialah adanya kemarahan serta pendendaman dalam hati.

2.    Kemegahan diri
Maksudnya ialah bahwa seseorang itu mempunyai keinginan agar dianggap lebih tinggi, lebih megah, dan mulia dari orang yang digunjingnya itu, lalu orang tersebut dijelek-jelekkan dimuka orang lain.
3.    Kedengkian
Maksudnya ialah supaya orang-orang banyak itu tidak lagi memuji-mujinya, tidak lagi mencintainya serta memuliakannya, sebab hal yang demikian itu dianggapnya sangat berat bagi dirinya sendiri. Mungkin ia menginginkan agar dirinya sajalah yang dipuji, dicintai dan dimuliakan.
4.    Bercengkrama
Maksudnya ialah bermain-main, bersenda gurau, serta menghabiskan waktu untuk ketawa-ketawa yang tidak ada manfaatnya sama sekali.
5.    Penghinaan
Yaitu menganggap hina, rendah, atau lemah kepada orang lain. pokok pangkalnya perbuatan ini ialah karena perasaan congkak, sifat tinggi diri yang tiada terbatas serta ingin menganggap bodoh kepada yang dicemoohkan itu.
6.    Masih ada lagi sebab-sebab dan hal yang sukar untuk diteliti yang semuanya itu akibat tipu daya serta tipuan syaithan. Maksudnya ialah menyebutkan nama seseorang diwaktu ia kagum, belas kasihan atau marah karena Allah SWT. Umpamanya, ada orang berkata: “saya heran sekali kepada si fulan itu, mengapa ia duduk dihadapan itu, tetapi ia tidak mengerti”. Jadi keheranannya ialah dari suatu kemungkaran karena seolah-olah membenarkannya.

Menggunjing yang dibolehkan
1.    Dalam hal penganiayaan
Seseorang yang dizalimi atau dianiaya oleh orang lain, lalu ia mengadukan halnya itu kepada seseorang amir atau hakim agar haknya dapat diperoleh kembali atau untuk menuntut haknya yang belum diterima, maka bolehlah ia menggunjing seperlunya kepada yang berbuat zalim kepadanya itu dan hendaklah dibatasi mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan perkaranya saja dan tidak perlu mengungkapkan yang lain-lain.

Dalam hal ini Allah  SWT. berfirman:

لاَيُحِبُّ اللٌهُ الْجَهْرَ بِا لسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ اِلاَّ مَنْ ظُلِمَ وَكاَنَ اللٌهُ سَمِيْعًا عَلِيْمًا

Artinya: “Allah tidak suka kepada perkataan jelek diperdengarkan, kecuali (dari) orang yang teraniaya, dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”. (Q.S An-Nisa’: 148)

2.    Menggunjing dibolehkaan pula diwaktu meminta pertolongan agar suatu kemungkaran dapat diubah atau agar seorang yang bermaksiat itu dapat diarahkan ke jalan yang baik kembali. Kepada orang yang hendak kita minta pertolongannya itulah penggunjingan terhadap orang yang kita maksud boleh dilakukan, tetapi wajib dibatasi seperlunya saja.
3.    Boleh pula menggunjing diwaktu meminta fatwa atau penerangan hukum agama, misalnya seseorang yang berkata kepada seorang muftí: “Aku diazalimi oleh ayahku atau oleh istriku atau oleh saudaraku demikian”. Ini hendaknya dilakukan sekiranya dengan jalan kata-kata samar atau sindiran atau kata-kata pembelokan.
4.    Untuk menakut-nakuti seorang muslim agar tidak berbuat jelek.
5.    Di waktu menanyakan seseorang yang lebih dikenal dengan nama gelarnya, misalnya hendak mencari alamat dan yang lain-lainnya.
6.    Boleh menggunjing pula kepada seseorang yang dengan terang-terangan berbuat kepasiqan dan malahan ia merasa bangga dengan perbuatannya itu, maka dalam keadaan yang semacam ini tidak lagi ia benci apabila mendengarnya. Jadi tidaklah disebut menggunjing dengan mengatakan hal-hal yang ditonjol-tonjolkan sendiri oleh orang itu.

2.    Buhtan
Rasulullah menjelaskan, tatkala ditanya oleh seorang sahabat, "Wahai Rasulullah, apakah ghibah itu?" Lalu Beliau SAW. menjawab, "Menyebut sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu di belakangnya!" Kemudian Baginda ditanya lagi, "Bagaimana sekiranya apa yang disebutkan ltu benar?" jawab Baginda, "Kalau sekiranya apa yang disebutkan itu benar, maka itulah ghibah, tetapi jika sekiranya perkara itu tidak benar, maka engkau telah melakukan buhtan (pembohongan besar)." (Hadis riwayat Muslim, Abu Daud dan At-Tarmizi).
Ghibah (menyebut keburukan orang lain walaupun benar) amat buruk, apalagi buhtan (memfitnah dan mengada-adakan keburukan seseorang). Orang yang mendengar ucapan ghibah juga turut memikul dosa ghibah, kerana dia masuk dalam ghibah itu sendiri. Kecuali dia mengingkarinya dengan lidah, atau dengan hatinya. Bila ada kesempatan maka lebih utama baginya mengalihkan ghibah tersebut dengan pembicaraan lain yang lebih bermanfaat.
Perkataan "fitnah" berasal daripada bahasa Arab yang berarti kekacauan, bencana, cobaan dan penyesatan. Fitnah sering dimaksudkan sebagai berita bohong atau tuduhan yang diada-adakan untuk membinasakan seseorang yang tidak sesuai dengan kenyataan atau kebenaran.
Al-Quran dalam surah al-Hujuraat ayat 12 dengan jelas menguraikan persoalan fitnah. "Wahai orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) karena sesungguhnya sebagian dari sangkaan itu adalah dosa; dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan keaiban orang; dan janganlah sebagian dari kamu mengumpat sebagian yang lain. Adakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? (jika demikian keadaan mengumpat) maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh karena itu, patuhilah larangan-larangan tersebut) dan bertakwalah kamu kepada Allah; sesungguhnya Allah Penerima taubat lagi maha Pengasih".
Rasulullah telah bersabda yang artinya: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, maka hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik dan kalau tidak, hendaklah diam." (Riwayat Bukhari dan Muslim). Ini membawa maksud bahawa seseorang yang beriman itu perlu sentiasa mengawasi lidahnya dan apabila berkata hanya kepada perkara-perkara yang memberi kebaikan kepada dirinya dan orang lain. Kalau tidak dapat memberi sesuatu yang membawa kebaikan maka adalah lebih baik berdiam diri saja.


C.    BOROS (KONSUMTIF)

وعن عَمْرِ وبن شُعَيْبٍ عن اَبِيْهِ عن جَدِّهِ رضي الله عنهم قال : قال رسول الله صلىالله عليه وسلم كُلْ وَاشْرَبْ وَالْبَسْ وَتَصَدَّقْ فِى غَيْرِ سَرَفٍ وَلاَ مَحِيْلَةٍ. {اخرجه ابودود واحمد، وعلَّقَهُ لِلْبُخَاريّ}

Artinya: “Dari Amr Putra Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata : bersabda Rasulullah SAW, makan, minum, dan berpakaianlah serta bersedekahanlah dengan tidak berlebih-lebihan dan bukan tujuan sombong”. (Hadits dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Ahmad, Imam Bukhari menyatakan ta’liqnya)

Pada hakikat sesungguhnya harta benda itu adalah merupakan nikmat yang besar dari Allah SWT. Karena itu berlaku boros dan berroyal dengan harta itu hukumnya haram sebab ada nash yang mencegah hal itu.  Demikian juga dihukumkan dengan haram kikir membelanjakan harta benda; sebaik-baik penggunaan harta yaitu secara pertengahan dan sedang-sedang, tidak berlebih-lebihan dan berlaku kikir.
Boros / royal terhadap benda yaitu penggunaan harta benda secara berlebihan tanpa ada manfaatnya baik untuk kepentingan duniawi maupun kepentingan ukhrawi, sehingga kemanfaatan harta itu menjadi sia-sia dan tidak memberikan manfaat, misalnya membuang harta ke dalam lautan / membakarnya ke dalam api, tidak memetik buah-buahan yang telah masak di pohon sehingga ia menjadi busuk / rusak dan tidak bisa diambil kemanfaatannya.
Bentuk-bentuk dari menyia-nyiakan harta/boros, yaitu:
1.    Boros dalam belanja dan dipergunakan untuk hal-hal yang tidak berguna,
2.    Membelanjakan uang untuk sesuatu yang haram,
3.    Membiarkan harta tidak terurus, dan
4.    Tidak menunaikan kewajiban yang maliyah


PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Akhlak tercela dalam Islam sangat membahayakan dalam pergaulan sehari-hari. Jadi sia-sialah segala amal kebaikan apabila penyakit hati berada dalam hati kita dan akan mengganggu pula ketenangan jiwa kita. Oleh sebab itu apabila penyakit hati sudah mulai bersarang dan berkembang di dalam hati segeralah diobati dengan jalan zuhud (tidak tertarik dan mementingkan kepada keduniawian).

B.    PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat memberi manfaat bagi yang membacanya. Tentunya banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penulisan makalah ini terlebih lagi masalah isi, untuk itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kepada Allah SWT. kita semua sama-sama memohon ampunan.















DAFTAR PUSTAKA


Haqoni, Luqman. 2002.  Perusak Pergaulan dan Kepribadian. Pustaka Jaya:    Bandung.
Imam Ghazali. 1990. Bahaya Lidah. Bumi Aksara: Jakarta
Oneng Nurul Muriyah. 2008. Materi Hadits. Kalam Mulia: Jakarta
Syafe’i, Rahmat. 2000. al-Hadits Aqidah Akhlak Sosial dan Hukum. Pustaka Setia: Bandung
Syeikh Muhammad Djamaluddin al-Qasyimi ad-Dimsyaqi. 1998. Mua’idhatul Mukminin. Rabbani Press: Jakarta.
Uwaidah, Kamil Muhammad. 1998. Fiqh Wanita. Pustaka al-Kautsar: Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar