SETANGKAI
ANGGREK GUNUNG
Setara dengan hutan belantara di zaman purba adalah rimba raya Mardugu, kurang lebih seratus kilometer arah selatan kota Muara Enim. Kanopi tebal hutan heterogen menjamin tak ada seberkas sinar mampu mencapai permukaan tanah sepanjang masa. Hutan perawan yang abadi, kelam dan dingin.
Hutan itu sering diibaratkan orang sebagai tempat bunuh diri. Tempat segala
dedemit berkembang biak. Seorang ibu yang marah kepada putranya biasa
mengeluarkan ancaman dengan: “Kalau kamu nakal terus ibu akan pergi ke Mardugu,
biar kamu tidak punya ibu lagi!” Atau seorang pemuda bersumpah kepada
kekasihnya dengan, “Kalau aku berdusta kepadamu maka aku rela mati dihisap
hantu Mardugu!”
Hutan itu dialiri sungai berwarna kemerah-merahan, maka dinamai Sungai
Bara. Mitos meyebut warna merah itu adalah darah kematian dari orang-orang yang
tersasar……, tetapi sesungguhnya adalah hasil fermentasi humus tebal yang tiada
henti. Di beberapa tempat terdapat telaga dengan air hitam pekat. Mata air yang
merembes dari bawah akar pepohonan mengesankan bahwa tempat itu ideal untuk
habitat harimau, atau ular sebesar batang kelapa!
Sesungguhnya hutan itu bukan tak pernah dilewati orang. Di balik hutan itu
ada sebuah perkampungan, perkampungan mardugu, begitulah kiranya orang sering
menyebutkan. Berkunjung ke sana diistilahkan orang dengan pergi ke balik dunia.
Suatu hari, ada tiga lelaki mengiringi tiga ekor kuda beban berangkat dari
kota kecamatan di pagi buta. Tak diragukan lagi, mereka akan menyeberangi
Mardugu. Ketika sampai di tepi hutan itu, masing-masing membaca rafalan-rafalan
penangkal setan. Kemudian masuk dengan perasaan was-was. Kurang lebih tujuh jam
barulah mereka sampai diperkampungan mardugu.
Setelah sampai salah satu di antara pengiring kuda mengeluarkan selembar
surat dari saku bajunya dan menunjukkannya kepada anak-anak yang berkerumun
menonton lumpur di perut kuda:
“Kalian bergembiralah. Tak lama lagi kalian akan bersekolah lagi. Akan ada
guru baru datang ke sini. Kumpulkan lagi buku-buku dan seragam sekolah!”
katanya. Surat itu diserahkannya kepada Kepala Kampung.
Berita akan datangnya guru baru menyebar dengan cepat. Bukan hanya
anak-anak yang bergembira, tapi orangtua mereka pun bersuka cita.
Demikianlah, pada tahun 1985, bulan Agustus, bertepatan dengan peringatan
hari kemerdekaan ke empat puluh. Mardugu berbenah dan menghias diri
habis-habisan!
Mereka menunggu tamu. Dan tamu itu adalah seorang guru. Dalam tindasan
surat dinas yang mereka lihat tertera jelas; nama guru itu adalah Yesi, seorang
gadis usia dua puluhan. Guru khusus agama. Lahir di kota kabupaten Padang
Sidempuan. Tentu saja, ia gadis kota.
Aduhai, semoga menjadi kenyataan! Sudah lama di desa itu tak ada guru.
Anak-anak tidak berangkat sekolah dan bangunan sekolah terlantar. Guru
terakhir, seorang lelaki setengah baya. Hanya sebentar, lalu ia permisi cuti
dan tak pernah kembali lagi. Sekarang akan datang pengganti. Seorang gadis pula.
O, ia pasti cantik dan semoga belum punya kekasih!
Sampai pada hari yang sudah ditentukan, diutuslah sekelompok orang untuk
menjemput ke kota kecamatan. Mengawal saang guru harapan melintasi hutan
mardugu.
Semua orang di mardugu, para orang tua, anak-anak, tua, muda, menghias
semua kampung mereka sebagus mungkin untuk menyambut tamu yang ditunggu-tunggu.
Mereka selalu melihat ke ujung desa kalau-kalau romgongan sudah tiba. Sampai
akhirnya ada teriakan seseorang yang gopah-gopoh:
“Ayo, semua kumpul! Dimana pemukul tambur? Bunyikan gendang! Guru kita
sudah datang. Ayo, semua!”
Berikutnya menyusullah kejadian-kejadian kecil yang mengundang gelak tawa.
Yesi, gadis idaman itu, tolah-toleh. Tidak mengerti bahwa dirinya disambut
dengan upacara kehormatan. Tak mungkin. Aku hanya guru sekolah dasar, demikian
ia berpikir. Mungkin ada orang lain dalam rombongan itu. Tapi siapa?
“Ibu guru kami, selamat datang,” seorang lelaki tua dalam pakaian adat
lusuh berdiri di atas batu pada posisi yang agak tinggi, “Terangilah desa kami
dengan sinar ilmu pengetahuan. Bekalilah anak-anak kami dengan budi pekerti
yang luhur …”
Jelaslah, Yesi bahwa ia yang dituju. Pikirannya bertambah kisruh.
Penyambutan semacam ini jauh di luar perkiraannya yang paling gila. Disanjung
setinggi langit membuatnya panik. Zaman purbakala sudah lama lewat. Ternyata
upacara seperti ini masih dipelihara orang.
Ketika sampai di rumah yang akan ditinggalinya, seseorang membawa bumbung
bambu berisi air untuk membasuh kaki. Setelah itu mereka naik dan Yesi dipersilahkan
duduk di atas tikar berlapis sampang. Tak lama kemudian penganan dikeluarkan.
Dan kehadapannya disodorkan nampan berisi sesuatu yang ditutupi daun pisang.
Ketika seseorang mengucapkan pantun sambil membukanya, Yesi hampir meledak
dalam tawa. Ternyata kepala kambing yang sudah dimasak. Masih utuh!
“Untuk apa ini?”
“Untuk dimakan, Bu Guru!”
“Begini? Bulat-bulat begini?”
Ibu guru itu ketawa lepas. Orang-orang pun ikut tertawa. Ibu Guru yang muda
dan polos. Dan kepolosan itu membuat orang-orang makin jatuh hati
kepadanya.*****
Terbukti bahwa Mardugu terbuka dan mendambakan kemajuan. Bangunan sekolah
yang reot itu segera dipugar. Dinding yang miring diluruskan kembali. Belukar
di sekelilingnya ditebas. Dan Ibu guru yang baru datang itu dihormati melebihi
dewi.
Ibrahim, kepala kampung Mardugu, orang-orang memanggilnya dengan sebutan
‘ketua’, memperingatkan warganya dengan sangat arogan. Khususnya kepada
pemuda-pemuda kampung, ia berkata. “Kalian semua! Aku tahu, kalian akan meruap
seperti berudu kalau melihat seorang gadis. Kuperingatkan kalian bahwa ini
bukan gadis seperti yang biasa kalian goda-goda. Kalau sempat ia mengeluh
kepadaku karena tingkahlaku kalian, maka lihat saja, kalian akan kukejar sampai
lobang semut …”
Kepada Yesi, Ketua itu berkata: “Ibu Guru yang terhormat. Di sini saya
menjadi orangtua bagimu. Aku bertanggungjawab penuh terhadap segala hal. Maka
jangan kuatir. Mengajarlah dengan tenang, bekerjalah dengan tekun!”
Yesi merasa tersanjung.
Di sekolah, ternyata Yesi tidak hanya mengajarkan agama, tapi seluruh mata
pelajaran. Ia hanya seorang diri, satu guru untuk semua. Barangkali merupakan
perkecualian pula, bahwa muridnya bukan hanya anak-anak, tetapi juga orangtua
yang hendak belajar tulis-baca di ujung hidupnya. Dan ruang kelasnya bukan
hanya di bangunan sekolah, tapi merambat sampai kediamannya, atau dimana saja
mereka berjumpa dengan gurunya.
Pagi itu Yesi mendamaikan dua anak lelaki yang bertengkar antar sesamanya.
“Mengapa bertengkar?”
“Dia tidak memelihara sopan santun!” jawab salah satu anak, “Ia menyebut
nama Ibu Guru!”
“Apa yang ia katakan?”
“Ia menyebutkan nama Ibu Guru. Katanya….nama guru itu.. Yesi!”
“Nah, kamu juga menyebut!” potong anak satunya langsung.
Yesi terseyum geli, tak mengerti, “Apa itu salah?”
Untuk pertama kali Yesi menyadari bahwa menyebutkan nama seorang guru
termasuk larangan pula. Jika terpaksa menyebutkannya seseorang harus mengawali
dengan tabik, jika memang benar-benar diperlukan.
Sudah menjadi kebiasaan pula bagi warga Mardugu memanjakan guru kesayangan
itu dengan gaya mereka sendiri. Jika mereka mendapatkan ikan di sungai atau di
kolam, mereka akan berkata: ” Sisihkan yang paling besar untuk Ibu Guru”. Atau
jika membawa durian dari kebun: “Pilihkan yang paling bagus untuk Ibu Guru!”
Hari hari berikutnya menjadi hangat dan menyenangkan. Jika malam terang
bulan, Yesi duduk di tangga rumahnya. Anak-anak muridnya ikut berkumpul
memainkan tari tumba. Sejenis tarian sambil bernyanyi. Gerakannya hanya
mengandalkan tepuk tangan dan ayunan kaki.
Yesi tidak mengingkari fakta bahwa ketika melamar menjadi guru persepsinya
adalah pekerjaan dan gaji! Tetapi setelah berbhakti di pedalaman ini Yesi
memperoleh sebuah penghayatan baru. Pengabdian dan dharma bakti sangat
mengesankan. Ia bersyukur bahwa ia menjadi guru. Dan ia mendapatkan tempat yang
sangat tepat.
Jika malam telah larut Yesi kerap hanyut dalam alunan suara seruling.
Sayup-sayup meniti angin yang berhembus dari hutan Mardugu. Sebelumnya Yesi tak
pernah mengagumi musik, tapi di Mardugu sungguh berbeda. Ia ingin tahu siapa
sesungguhnya pemuda peniup seruling itu, tapi ia selalu malu untuk bertanya.
Dan tak pernah seorang pemuda pun berani mendekati tangga rumahnya!
Mau tak mau Yesi menyadari sebuah ironi. Manakala anak-anak dan remaja di
kota kelahirannya sibuk dengan kemerosotan moral, bahkan menyanyikan lagu-lagu
yang melukai etika. Jadi dimanakah sebenarnya kesenian itu berkembang sehat?
Itu semua membuatnya semakin mencintai kehidupan desa. Semakin terikat di
Mardugu!
Tanpa terasa, dua tahun telah berlalu.
Yesi telah jadi anak kandung Mardugu. Telah terbiasa dengan suasana hidup
Mardugu. Hingga sampailah waktunya ……..*****
Seorang perwira tentara berpangkat letnan memasuki kampung itu suatu sore.
Di kawal oleh dua orang pemuda asing. Lumpur hitam yang mengotori baju
lorengnya menciptakan kesan gagah sekaligus sangar. Bahwa ia telah melewati
hutan Mardugu dengan susah payah, karena hanya itulah jalan satu-satunya
memasuki kampung di balik dunia ini. Dan sudah pasti ia datang untuk suatu
urusan yang sangat penting, yang tak bisa ditunda.
Seorang ibu yang melihat tamu tiba-tiba ini tak tahan untuk tidak menyapa.
Ragu-ragu ia keluar dari kolong rumahnya.
“Hendak kemana, Tuan?”
“Mencari rumah kepala kampung. Dimana?” jawab tentara itu. Suaranya tegas.
“Oh…!” Ibu itu menahan napas. Mungkin telah terjadi kekeliruan. Ia menunjuk
dengan pikiran kacau, “Disana. Ada apa?”
“Saya hendak menemui Yesi!”
“Ibu guru kami. Mengapa ia dicari!”
“Saya akan mengambilnya!”
Ibu itu langsung tertegun. Matanya melolong tak mengerti, “Mengambil
bagaimana…!”
“He he he, ibu jangan kaget begitu. Saya akan mengambilnya untuk dijadikan
isteri, tentu!”
“Ah, bapak ini, bagaimana ini…..”
“Betul! Ini sungguh-sungguh!”
“Kalau begitu …., kita harus ke rumah ketua.”
Dan mereka beriringan menuju rumah dimaksud. Di rumah kepala kampung
terjadi pembicaraan seru. Orang-orang berkumpul, sampai luber ke depan pintu.
Di dalam, Ibrahim sedang berbicara dengan tentara itu. Dan pembicaraan itu didengar
oleh semua warga yang berjejal sampai halaman.
“Ini tidak masuk akal….” Keluh Kepala Kampung dengan nada putus asa.
“Bagaimana bisa mendadak seperti ini! Dan Ibu Guru tidak pernah bercerita
kepada kami soal ini!”
“Begitulah , Pak Ketua. Orangtuanya meminta saya menjemputnya kesini!”
“Ah, ya ….”
“Mohon maaf, atas kedatangan saya yang mendadak ini. Saya memanfaatkan
waktu cuti, jadi segalanya terpaksa mendadak!”
“Ya, ya…, aku tahu. Tentara selalu terburu-buru. Tapi ini keadaan yang
sulit, sangat sulit!” katanya, dan matanya menerawang jauh. Kemudian ia berkata
kepada seorang wanita di depan pintu, “Pergilah untuk memanggil Ibu Guru
kesini!” Tapi ia segera meralat perintahnya, “O, biar aku saja. Aku akan
menanyainya dulu sebelum sampai ke sini. Aku ingin tahu jawabannya dulu!”
Dan ia bergegas. Di perjalanan menuju kediaman Ibu Guru, ia merasakan
dilema berat menghimpit kepalanya. Kampung ini akan kembali kehilangan guru.
Soal pengganti itu mudah, tapi Ibu guru ini, alangkah menyatu dengan Mardugu.
Semua warga mencintainya. Seorang ibu yang mengejarnya dan membisikkan
permohonan agar lamaran tentara ini ditolak saja, setidaknya waktunya diulur……
Itu semua menjadi bukti bahwa melepaskan Ibu Guru ini untuk pergi bukan perkara
mudah!
Namun di satu sisi ia menyadari fakta, bahwa Ibu Guru mereka itu adalah
seorang gadis. Dan sejak awal ia bertekad menjadi orangtuanya dalam segala hal.
Jika Yesi itu adalah puterinya, bagaimanapun ia pasti berpikir soal menantu.
Jika demikian, maka puterinya telah mendapatkan jodoh yang sepadan. Seorang
gadis yang hebat bertemu pemuda yang hebat! Ia tidak bisa mengesampingkan
pandangan ini ketika ia bicara dengan Yesi.
“Temuilah ia di rumahku!”
“Aku tidak mau!” jawab Yesi. Untuk pertama kali Ibu Guru ini mengeluarkan
kata-kata yang begitu tegas, “Mengapa ia datang mendadak?”
“Ia juga mengakui itu. Tapi karena cutinya sangat pendek, ia tak punya
jalan lain!”
“Aku tidak mau!”
Penolakan yang ketat itu membuat Kepala Kampung merasa ia tidak lagi
berhadapan dengan Ibu Guru, tapi sedang menghadapi putrinya sendiri. Dan jika
begitulah adanya, maka campur tangannya dalam masalah ini tak lagi berarti. Ia
pulang dengan kepastian, “Jika tentara itu hendak menjadi menantuku, ia harus
berjuang sendiri meraih keinginannya…” Dan ia pun pulang.
Namun ketika ia berbalik, ia hampir saja bertubrukan dengan tentara itu. Yesi juga terkejut dengan pemunculannya.
“Maafkan kedatanganku. Seperti yang kukatakan dahulu, setelah pulang dari
Timtim, tugasku yang pertama adalah menemuimu!”
“Tiba-tiba sekali. Mengapa tidak memberitahu lebih dulu. Setidaknya ada
kabar…..”
“Itulah!” jawab tentara itu. “Aku sudah menelpon tapi tidak menyambung.
Rupanya belum ada kabel melintasi Mardugu. Suratku pun tak sampai. Pak Pos
keberatan mengantar surat melewati lumpur, kuatir surat menjadi rusak.”
Bagaimanapun Yesi terpaksa tersenyum mendengar gurauan segar itu. Dalam
hati kecil pun, ia mengagumi tentara ini. Tampan dan berhati baja.
“Tapi aku tidak mau pergi dari sini!”
“Tidak mau?” jawab tentara itu, wajahnya bertambah ramah. “Tidak apa-apa.
Aku akan mengalah. Aku akan memindahkan kompiku ke sini. Hanya saja, disini
kami tidak punya tempat untuk lari-lari atau main bola. Jurang semua!”
Kepala Kampung tertawa. Yesi juga tertawa.
Tentara itu melanjutkan: “Di tengah hutan tadi aku bertemu anggrek di
cabang suatu pohon. Sebenarnya aku tak pernah memperhatikan keindahan bunga,
tapi kali ini aku betul-betul memanjat. Dan kubawakan untukmu!” katanya sambil
mengeluarkan bunga itu dari saku bajunya yang lebar.
“Terimalah ini!”
“Ih, seperti dongeng!”
“Terimalah!”
Ketika Yesi mengulurkan tangan menerimanya, mau tak mau ia tersenyum geli.
Seperti dongeng, terlalu cengeng dan meniru-niru! Disaksikan orang banyak
membuatnya malu. Tapi tentara itu tampaknya tak terpengaruh. Ia tenang saja.
Dengan penuh percaya diri ia menggengam tangan Ibu Guru itu, meraih bahunya
lalu berkata dengan jelas. “Ikutlah denganku! Kau akan menjadi isteri Komandan
Kompi yang hebat. Kau akan berbahagia. Percayalah!”
Yesi tak menjawab. Pikirannya tak mampu mencerna peristiwa yang berlangsung
amat cepat. Ini seperti bom yang meledak tiba-tiba. Tak ada angin tak ada
hujan. Tapi dalam hati kecil ia merasakan seberkas sinar yang sangat cerah
menerangi kegelapan. Antara dua kutub yang berlawanan. Mengapa hidup membawa
persoalan begitu memusingkan?
Setelah tentara itu kembali ke rumah kepala kampung, Yesi harus menghadapi
murid-muridnya yang tidak mengerti persoalan orang dewasa. Mereka selalu saja
datang dengan keingintahuan kanak-kanak. Salah satu yang terbata-bata adalah
anak perempuan yang tadi sore menyerbunya di kamar mandi. Anak itu berdiri di
depan pintu. Dengan roknya yang kusut ia menyeka airmata bercampur ingus.
“Ibu Guru tidak akan pergi, kan?”
“Tidak. Siapa bilang Ibu akan pergi?”
“Orang-orang mengatakan begitu. Tapi Ibu tidak pergi, kan? Tidak bohong, kan?”
“Ah, kamu ini. Sini!” kata Ibu Guru itu meraih muridnya, membantunya
menghapus air mata.
“Pulanglah! Besok kita berjumpa di sekolah!”
“Ibu Guru tidak bohong, kan?”
“Tidak. Pulanglah!”
Anak itu pulang, menembus kegelapan malam. Mungkin kakinya akan terantuk
batu karena terisak. Jika ia memang murid yang mencintai gurunya, maka ia pasti
merasakan bahwa gurunya tidaklah memberikan jawaban yang dapat dipegang.
Yesi menyuruh seseorang menyampaikan kabar ke rumah kepala kampung bahwa ia
menolak menjadi isteri Komandan Kompi. Tapi baru saja orang itu pergi ia
menyuruh orang lain lagi dengan pesan, “Besok berangkat sesudah pukul sembilan,
sesudah berpamitan di sekolah……!”
Malam itu menjadi malam yang sangat panjang. Yesi hampir tidak memejamkan
mata sama sekali. Murid-muridnya juga banyak yang mengigau. Menanti keputusan
yang sangat mendebarkan membuat mereka dikejar hantu dalam mimpi-mimpinya.
Ibu Guru tidak boleh pergi. Tidak boleh pergi. Mereka hendak meminta
bantuan orang tua masing-masing. Tapi pikiran orang tua selalu berbeda. Mereka
tidak mengerti mengapa ini dibiarkan.*****
Pagi harinya Yesi berangkat sekolah dengan kaki mengambang. Bagaimanapun ia
telah memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, tampaknya bersiap untuk
perjalanan jauh, tapi ia bertekad untuk tidak pergi. Semoga ada suatu kekuatan
dari langit menyelesaikan masalah ini dengan ringkas, dengan kebahagiaan. Tanpa
membekaskan luka dan penyesalan.. Tapi jalan manakah yang harus di tempuh?
Ia mendaki tangga tanah menuju halaman sekolah. Kepalanya menunduk. Jika
tempat ini harus ditinggalkan, pergi ke tempat yang sangat jauh di Pulau Jawa,
aduh…..
Ia membawa pulpen dua warna untuk mengoreksi pekerjaan rumah
murid-muridnya. Dan murid-muridnya selalu saja berebut untuk lebih dulu
dikoreksi. Tapi pagi ini pulpen itu tertinggal. Bahkan ia berangkat sekolah
tanpa alas kaki. Semua terlupa begitu saja!
Di tepi halaman sekolah itu ia berhenti. Ternyata halaman sekolah itu telah
dipenuhi orang. Semua warga berkumpul di situ. Tentara itu juga ada di sana dan
berdiri di depan semua orang, seperti berpidato. Ketika menyadari Yesi datang,
tentara itu berbalik. Mengikuti pandangan semua orang, memperhatikan Ibu Guru
mereka di tepi halaman.
Duka dan bahagia hanya dibatasi selembar selaput tipis. Karena itu
orang-orang Mardugu menerima kesenangan dan kesedihan dengan cara yang sama.
Orangtua yang dahulu pandai berpantun menyambut kedatangan guru mereka kini
muncul lagi memimpin marhaban. Irama lagu yang tiba-tiba terasa mengiris ulu
hati.
Yesi yang pertama bereaksi. Nalurinya terpukul oleh perpisahan yang tak
bisa ditawar lagi, “Kalian semua menyuruhku pergi….” katanya. Dan ia mulai
menangis.
Murid-murid menyerbunya sambil melolong. Seorang murid, di sela tangisannya
meminta Yesi mengoreksi PR-nya sebelum pergi dan melasakkan tuduhan: “Ibu Guru
berbohong….”
“Tidak, aku tidak membohongi kalian.”
“Tapi mengapa Ibu Guru pergi?”
“Kalian juga…, mengapa kalian membiarkan ibu gurumu pergi. Aku tidak ingin
pergi….!”
Seorang anak sedang menunggu giliran untuk bersalaman. Ia membawa bungkusan
plastik hitam berisi buah rambutan. Itulah yang dapat ia berikan untuk perpisahan
dengan gurunya. Anak itu yang sejak kemarin berjuang mati-matian untuk
mempertahankan ibu gurunya, pagi ini ia terpaksa menyerah. Sebelum menyerahkan
kenang-kenangan itu ia sempat berkata: “Ibu Guru, tidak pergi, kan ….” Dan ia
jatuh pingsan.
Perpisahan itu berkembang menjadi dramatis. Beberapa orang pingsan. Dalam
keriuhan itu satu suara mencoba menenangkan suasana. Yakni suara tentara itu
yang berseru dengan keras: “Dengarkanlah, anak-anak, serta seluruh orangtua
murid yang berkumpul di sini. Aku datang dari jauh, tak menyangka akan berjumpa
dengan kenyataan seperti ini. Ibu guru kalian ini, aku telah memintanya kepada
orang tuanya, juga kepada kepala kampung di sini. Ternyata aku keliru. Aku
belum memintanya kepada kalian semua. Jadi aku bertanya sekarang, relakah
kalian melepasnya pergi bersamaku?”
Tak ada jawaban. Tangisan murid semakin menjadi-jadi. Bahkan orangtua
mereka ikut tersedu-sedu. Mata tentara itu pun berkaca-kaca. Sedangkan Kepala
Kampung ikut menangis seperti anak-anak.
Dengan getir Kepala Kampung itu mendekati Ibu Guru dan berusaha merebutnya
dari pelukan anak-anak yang dengan ketat memegangi baju gurunya, tangan dan
kakinya. Beberapa anak jatuh bergulingan karena ditepiskan oleh Ketua, tapi
mereka terus saja melolong.
“Berangkatlah, puteriku, berangkatlah. Semoga kalian selamat sentosa di
perjalanan. Soal anak-anak ini, biarlah menjadi urusan kami. Berangkatlah…!
Yesi meninggalkan kampung itu sambil berurai air mata, dengan hati retak.
Bahkan setelah mereka memasuki hutan Mardugu, suara anak-anak yang menangis
sayup-sayup masih terdengar terbawa angin.
Sementara itu orang-orang Mardugu mengabadikan kenangan mereka dengan cara
yang aneh. Dua orang bayi perempuan yang lahir pada tahun itu dan beberapa lagi
sesudahnya dijadikan tumpuan segala kenangan, agar nama Ibu Guru yang terindu
itu tak pernah meninggalkan Mardugu. Orangtua mereka memberi nama yang sama
kepada bayi-bayi itu, tak lebih dan tak kurang. Yakni nama yang pendek dan
indah : Yesi.
sangat mengesannkan dan menggugah hati, smuanya menjadi 1. bukan hanya menganai perjuangan guru namun, ksah cinta dan ukhuwah smuanya tersusun apik.
BalasHapusit's a good story... ^_^
waw,.. don't forgeth opeen my blog ,... syariyansah12,blogspot.com
BalasHapusdan masih banyak lg blog saya..,,,,slh stunya tkj-cyberproch.blogspot.com
kunjungi juga website yg saya kelolah,.. osis.smkpgri2-pbm.sch.id
terima kasih