Rabu, 04 Juni 2014
no image

Belajar Mengasihi Dari Malaikat Kecil

Istriku berkata kepada aku yang sedang baca koran, “Berapa lama lagi kamu baca koran itu? Tolong kamu ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang untuk makan.”

Aku taruh koran dan melihat anak perempuanku satu-satunya, namanya
Aisyah tampak ketakutan, air matanya mengalir. Di depannya ada semangkuk nasi berisi nasi susu asam/yogurt (curd rice).

Aisyah anak yang manis dan termasuk pintar dalam usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibu dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice ada “cooling effect”.

Aku mengambil mangkok dan berkata, “
Aisyah sayang, demi ayah, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti ibumu akan teriak-teriak sama ayah.”

Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang punggungku. Tangis Aisyah mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya, dan berkata, “Boleh ayah akan saya makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya akan saya habiskan, tapi saya akan minta.”

Agak ragu sejenak “akan minta sesuatu sama ayah bila habis semua nasinya. Apakah ayah mau berjanji memenuhi permintaan saya?” Aku menjawab, “Oh…pasti, sayang.”

Aisyah tanya sekali lagi, “Betul nih ayah?”

“Ya pasti!” sambil menggenggam tangan anakku yang kemerah mudaan dan lembut sebagai tanda setuju.

Aisyah juga mendesak ibunya untuk janji hal yang sama, istriku menepuk tangan Aisyah yang merengek sambil berkata tanpa emosi, janji kata istriku. Aku sedikit khawatir dan berkata, “Aisyah jangan minta komputer atau barang-barang lain yang mahal yah, karena ayah saat ini tidak punya uang.”

Aisyah menjawab, “Jangan khawatir, Aisyah tidak minta barang mahal kok.” Kemudian Aisyah dengan perlahan-lahan dan kelihatannya sangat menderita, dia bertekad menghabiskan semua nasi susu asam itu. Dalam hati aku marah sama istri dan ibuku yang memaksa Aisyah untuk makan sesuatu yang tidak disukainya.

Setelah Aisyah melewati penderitaannya, dia mendekatiku dengan mata penuh harap, dan semua perhatian (aku, istriku dan juga ibuku) tertuju kepadanya. Ternyata Aisyah mau kepalanya digundulin/dibotakin pada hari Minggu.

Istriku spontan berkata, “Permintaan gila, anak perempuan dibotakin, tidak mungkin.” Juga ibuku menggerutu jangan-jangan terjadi dalam keluarga kita, dia terlalu banyak nonton TV dan program TV itu sudah merusak kebudayaan kita.

Aku coba membujuk, “Aisyah kenapa kamu tidak minta hal yang lain kami semua akan sedih melihatmu botak.” Tapi Aisyah tetap dengan pilihannya, “Tidak ada yah, tak ada keinginan lain,” kata Aisyah. Aku coba memohon kepada Aisyah, “Tolonglah…kenapa kamu tidak mencoba untuk mengerti perasaan kami.”

Aisyah dengan menangis berkata, “Ayah sudah melihat bagaimana menderitanya saya menghabiskan nasi susu asam itu dan ayah sudah berjanji untuk memenuhi permintaan saya. Kenapa ayah sekarang mau menarik/menjilat ludah sendiri? Bukankah Ayah sudah mengajarkan pelajaran moral, bahwa kita harus memenuhi janji kita terhadap seseorang apa pun yang terjadi seperti Raja Harishchandra (raja India zaman dahulu kala) untuk memenuhi janjinya rela memberikan tahta, harta/kekuasaannya, bahkan nyawa anaknya sendiri.”

Sekarang aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku, “Janji kita harus ditepati.” Secara serentak istri dan ibuku berkata, “Apakah kamu sudah gila?” “Tidak,” jawabku, “Kalau kita menjilat ludah sendiri, dia tidak akan pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri. Aisyah, permintaanmu akan kami penuhi.”

Dengan kepala botak, wajah Aisyah nampak bundar dan matanya besar dan bagus.

Hari Senin, aku mengantarnya ke sekolah, sekilas aku melihat Aisyah botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku. Sambil tersenyum aku membalas lambaian tangannya.

Tiba-tiba seorang anak laki-laki keluar dari mobil sambil berteriak, “Aisyah tolong tunggu saya.” Yang mengejutkanku ternyata, kepala anak laki-laki itu botak.

Aku berpikir mungkin”botak” model zaman sekarang. Tanpa memperkenalkan dirinya, seorang wanita keluar dari mobil dan berkata, “Anak anda, Aisyah benar-benar hebat. Anak laki-laki yang jalan bersama-sama dia sekarang, Harish adalah anak saya. Dia menderita kanker leukemia.” Wanita itu berhenti sejenak, nangis tersedu-sedu.

“Bulan lalu Harish tidak masuk sekolah, karena pengobatan chemotherapy kepalanya menjadi botak jadi dia tidak mau pergi ke sekolah takut diejek/dihina oleh teman-teman sekelasnya. Nah Minggu lalu Aisyah datang ke rumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi. Hanya saya betul-betul tidak menyangka kalau Aisyah mau mengorbankan rambutnya yang indah untuk anakku Harish. Tuan dan istri tuan sungguh diberkati Tuhan mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.”

Aku berdiri terpaku dan aku menangis, “Malaikat kecilku, tolong ajarkanku tentang kasih.”

0 komentar:

Posting Komentar