A.
Pendahuluan
Manusia pada
dasarnya diciptkan untuk beribadah kepada Allah. Banyak cara yang bisa
dilakukan untuk melaksanakan tugas kita kepada Allah, belajar adalah salah satu
bentuk ibadah kita terhadap Allah. Rasullulllah Saw. pernah bersabda “ Carilah ilmu walau sampai ke
negeri Cina “ dari hadits ini bisa kita ambil kesimpulan bahwa kita dituntut
untuk selalu belajar. Bentuk lain dari ibadah ialah menikah. Namun menikah
bukanlah hal yang mudah, kita harus selektif dalam memilih pasangan karena ia
adalah imam yang akan dijadikan dalam sebuah bahtera rumah tangga, memilih
pasangan sebaiknya yang satu aqidah.
Tetapi pada prakteknya di
Indonesia banyak sekali terjadi pernikahan yang beda agama, masalah tersebut
menjadi suatu masalah bagi umat Islam itu sendiri, karena pada dasarnya Islam
melarang perkawinan yang berbeda aqidah, karena pernikahan tersebut tidak akan
menjadi suatu kebahagiaan. Pernikahan yang bahagia adalah pernikahan yang
di dalamnya terdapat visi dan misi yang sama. Bagaimana mungkin pernikahan yang
tidak satu aqidah mempunyai tujuan yang sama, ujuan akhir dari suatu kehidupan
adalah menemui Allah Swt, apabila aqidah mereka berbeda apa yang akan terjadi ?
Untuk itu,
menentukan pasangan adalah hal yang nomor satu yang harus menjadi pertimbangan,
dalam Islam laki-laki muslim diperbolehkan menikah dengan wanita non muslim
dengan syarat wanita tersebut haruslah seorang ahli kitab. Islam membolehkan
tentu saja dengan berbagai pertimbangan, laki-laki adalah pemimpin dalam
keluarga. Hal inilah yang menjadikan bolehnya laki-laki muslim menikahi wanita
non muslim, diharapkan dengan adanya pernikahan ini, akan menjadikan wanita
mengikuti agamanya. Namun apa jadinya jika wanita yang menikah dengan laki-laki
non muslim? Bagaimana Islam dan hukum perundangan beserta kompilasi hukum Islam
memandang hal tersebut ?
Makalah ini
akan membahas masalah pernikahan wanita muslim dengan laki-laki non muslim dan
apa itu yag dimmaksud dengan non muslim ?
B.
Pembahasan
1.
Pengertian
Non-Muslim di dalam Islam
Sebelum kita membahas tentang pernikahan beda Agama,
sebaiknya kita perlu mengetahui tentang perngertian non-muslim didalam agama
Islam. Golongan non-muslim sendiri dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a.
Golongan Orang
Musyrik
Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah
Arkam juz 1 halaman 282 karya As Syech Muhammad Ali S Shobuni, Orang musrik
ialah orang orang yang telah berani menyekutukan Allah Swt dengan makhluk-Nya
(penyembahan patung ,berhala dsb).
b.
Golongan Ahli
Kitab
Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah
Arkam juz 1 As Syekh Muhammad Ali As Shobuni, Ahli Kitab adalah mereka yang
berpegang teguh pada Kitab Taurat yaitu agama NabiMusa As,atau mereka yang
berpegang teguh pada Kitab Injil agama Nabi Isa atau banyak pula yang
menyebut sebagai agama samawi atau agama yang diturunkan langsung dari langit
yaitu Yahudi dan Nasrani.Mengenai istilah Ahli Kitab ini,terdapat
perbedaan pendapat diantara kalangan Ulama’berpendapat bahwa mereka semua kaum
Nasrani termasuk yang tinggal di Indonesia ialah termasuk Ahli Kitab. Namun
ada juga yang berpendapat bahwa Ahli Kitab ialah mereka yang nasabnya (menurut
silsilah sejak nenek moyangnya terdahulu) ketika diturunkan sudah memeluk agama
nasrani di Indonesia berdasarkan pendapat sebagian ulama’ tidak termasuk Ahli
Kitab.
2.
Hukum Pernikahan Wanita Muslimah dengan Laki-Laki non Muslim
MUI dalam
Musyawarah Nasional II tanggal 11-17 Rajab 1400 H/26 Mei-1 Juni 1980 telah
memfatwakan: (1) Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah
haram hukumnya (2) seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan
muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahlu al-Kitab
terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa masfsadahnya lebih
besar dari pada maslahatnya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya
haram.
Berdasarkan
fatwa MUI tentang perkawinan Beda Agama hukumnya adalah haram dan tidak sah.[1]
Baik
menikah dengan pria Ahli Kitab maupun dengan seorang pria musrik. Hal ini
dikhawatirkan wanita yang telah menikah dengan pria non-muslim tidak dapat
menahan godaan yang akan datangkepadanya.Seperti halnya wanita tersebut tidak
dapat menolak permintaan sang suami yang mungkin bertentangan dengan syariat
Islam, atau wanita itu tidak dapat menahan godaan yangdatang dari lingkungan
suami yang tidak seiman yang mungkin cenderung lebih dominan.
Dalil naqli pernyataan tentang haramnya
pernikahan seorang wanita muslimah dengan pria non-muslim adalah Al-Quran Surat
Al-Maidah ayat 5 :
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari
kiamat Termasuk orang-orang merugi.
Ayat di atas dengan jelas menyatakan bahwa
Allah Swt hanya memperbolehkan pernikahan seorang pria muslim dengan wanita
Ahli Kitab tidak sebaliknya. Seandainya pernikahan ini diperbolehkan ,maka
Allah Swt pasti akan menegaskannya di dalam Al-Quran. Karenanya, berdasarkan mahfum
al-mukhalafah, secara implisit Allah SWT melarang pernikahan tersebut.
Menurut Masjfuk, hikmah dari larangan ini adalah karena dikhawatirkan
wanita Islam itu kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran-ajaran
agama suaminya, kemudian terseret kepada agama suaminya (non-Muslim). Demikian
pula anak-anak yang lahir dari perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan
mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga, terhadap
anak-anak melebihi ibunya.
Dalam hal ini Masjfuk menambahkan, fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa
tiada sesuatu agama dan sesuatu ideologi di muka bumi ini yang memberikan
kebebasan beragama, dan bersikap toleran terhadap agama/kepercayaan lain,
seperta agama Islam. Sebagaimana
firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 120 :
“Orang Yahudi dan Kristen tidak akan senang kepada kamu, hingga
kamu mengikuti agama mereka”.
Dan Allah
berfirman surat An Nisa ayat 141 yang artinya :
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi
jalan kepada orang-orang kafir untuk melenyapkan orang-orang yang beriman”.
Firman
tersebut mengingatkan kepada umat Islam hendaknya selalu berhati-hati dan
waspada terhadap tipu muslihat orang-orang kafir termasuk Yahudi dan Kristen,
yang selalu berusaha melenyapkan Islam dan umat Islam dengan berbagai cara, dan
hendaklah umat Islam tidak memberi jalan/kesempatan pada meraka untuk mencapai
maksudnya, misalnya dengan jalan perkawinan muslimah dengan pria non Muslim.
Sedangkan
menurut hukum di Indonesia, berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991 keluarlah
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi hukum positif unikatif bagi seluruh
umat Islam di Indonesia dan menjadi pedoman para hakim di lembaga peradilan
agamadan menjalankan tugas mengadili perkara perkara dalam
bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan.Apabila dilihat berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam pasal 40 ayat (c) yang bunyinya “ Dilarang perkawinan
antara seorang wanita beragama Islamdengan seorang pria tidak beragama Islam”.
Larangan perkawinan tersebut oleh Kompilasi Hukum Islam mempunyai
alasan yang cukup kuat, yakni:
a.
Dari segi hukum positif bisa
dikemukakan dasar hukumnya antara lain, ialah pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan "tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya
dan kepercayaannya itu".
b.
Dari segi hukum Islam dapat
disebutkan dalil-dalilnya sebagai berikut:
سَدُّ الذَّرِيْعَةِ artinya sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat perkawinan antara orang Islam dengan non Islam.
سَدُّ الذَّرِيْعَةِ artinya sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat perkawinan antara orang Islam dengan non Islam.
c.
Kaidah Fiqh دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى
جَلْبِ اْلمَصَالِحِ artinya, mencegah/menghindari
mafsadah/mudharat atau resiko, dalam hal ini berupa kemurtadan dan broken home
itu harus didahulukan/diutamakan daripada upaya mencari/menariknya ke dalam
Islam (Islamisasi) suami/istri, anak-anak keturunannya nanti dan keluarga besar
dari masing-masing suami istri yang berbeda agama itu.
d.
Pada prinspnya agama Islam melarang
(haram) perkawinan antara seorang beragama Islam dengan seorang yang tidak
beragama Islam sebagaimana Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221 :[2]
“ dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” .
Sedangkan izin kawin seorang pria Muslim dengan
seorang wanita dari Ahli Kitab (Nasrani/Yahudi) ada pada surat Al-Maidah ayat 5
hanyalah dispensasi bersyarat yakni kualitas iman dan Islam pria Muslim
tersebut haruslah cukup baik. Karena perkawinan tersebut mengandung resiko yang
sangat tinggi bagi rumah tangganya nanti. Karena itu pemerintah berhak
membuat peraturan yang melarang perkawinan antara seorang yang beragama
Muslim (pria/wanita) dengan seorang yang tidak beragama Islam (pria/wanita) apapun
agamanya yang juga didukung oleh Kompilasi Hukum Islam pasal 50 ayat (c)
dan pasal 4.
Dan Allah berfirman dalam surat Al-mujadilah ayat 22 :
“kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau
saudara-saudara ataupun keluarga mereka.[3]
Dengan
demikian, ayat di atas mengisyaratkan kepada kita semua, bahwasannya menikah
dengan seseorang yang berlainan aqidah, tidak dibenarkan, karena dikawatirkan
di dalam pernikahannya tidak adanya kasih sayang di dalamnya, menikah sebaiknya
dengan dengan seseorang yang sekufu, sebagaimana Rosulullah sabda Saw. Menikah
adalah hal yang tidak mudah untuk dilakukan, karena banyak hal yang harus
dipertimbangkan, salah satunya adalah calon imam dalam sebuah rumah tangga. Nabi
Muhammad Saw bersabda tentang beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan
dalam menentukan pasangan :
عن
أبي هريرة رضى الله عنه قال عن النبى صلى الله عليه و سلم قال : تَنْكِحُ
الْمَرْأَةُ لآَرْبَعٍ, لِمَا لِهَا, وَلِنَسَبِهَا , وَلِجَمَلِهَا,
وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ (رواه البخاري في
كتاب النكاح)
“Dari Abi
Hurairah R.A. Berkata, Rasulullah S.A.W
bersabda : "
wanita itu boleh dinikahi karena empat hal : karena hartanya, karena
asal-usul (keturunan )nya, karena kecantikannya, karena agamanya. Maka
hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam,
(jika tidak), akan binasalah kedua tangan-mu (Hadits riwayat Bukhari di dalam kitab Nikah)[4].
C.
Simpulan
Di dalam Islam, orang-oran non Islam terbagi menjadi dua bagian
yaitu orang-orang musyrik dan golongan ahli kitab. Sedangkan dalam islam
pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram.
Beberapa pendapat mengenai hokum pernikakan wanita
muslimah dengan laki-laki non muslim : Majelis Ulama Indonesia telah
mengharamkan pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim ialah haram
karena kemaslahatannya lebih besar dari pada kemaslahatan-nya.
Menurut hukum di Indonesia, berdasarkan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama
Nomor 154 tahun 1991 keluarlah Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 ayat (c) yang bunyinya “ Dilarang
perkawinan antara seorang wanita beragama Islamdengan seorang pria tidak
beragama Islam”.
DAFTAR PUSTAKA
Amir,
Syarifuddin, 2007. Hukum Perkawinan di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat
danUndang Undang Perkawinan , Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Mu’in, Ma’ruf dkk, 2011. Himpunan Fatwa MUI sejak 1975,
Jakarta : Erlangga.
Muta’al
al-Jabri, Abdul, 2003. Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Muslimah Tinjauan
Fiqih dan Politik, Jakarta : Gema Insani.
Zuhdi,
Masjfuk, 1991. Masa’il Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta : CV
Haji Masagung.
[2] Abdul Muta’al
al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Muslimah Tinjauan Fiqih dan
Politik, (Jakarta: Gema Insani,2003), hlm.21.
0 komentar:
Posting Komentar