A.
Pendahuluan
Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan
perempuan yang terinstitusi dalam satu lembaga yang kokoh, dan diakui baik
secara agama maupun secara hukum. Al Qu’an, secara normatif banyak menganjurkan
manusia untuk hidup berpasang-pasangan yang bertujuan untuk mewujudkan keluarga
yang bahagia dan tentram. Berkaitan dengan status perkawinan, Al Qur’an juga
menyebut dalam surat An-Nisa (4): 21, bahwa perkawinan sebagai mitsaqan
galidhan, yakni sebuah ikatan yang kokoh.
Dalam kenyataannya, praktik perkawinan yang terjadi di lingkungan
masyarakat tidak sepenuhnya mengacu kepada Undang-undang. Beberapa proses
perkawinan mengacu kepada lembaga keagamaan masing-masing. Fakta ini harus
diakui karena pengakuan Negara terhadap pluralisme hukum tidak bisa diabaikan.
Konsekuensinya, pilihan hukum dalam bidang keluarga cenderung diserahkan
sebagai kewenangan pribadi.
Sebagai contoh, kasus nikah sirri adalah pilihan hukum yang didasarkan
kepada konteks agama, yang penekanan esensinya tidak sekedar hubungan hukum
saja, tapi lebih kepada faktor konsekuensi pengamalan ibadah kepada Allah Swt.
Fenomena yang terjadi, Pencatatan nikah merupakan salah satu yang harus
dipenuhi dalam hal anjuran pemerintah, ulil amri, yang dalam hal ini
mencakup urusan duniawi. Sementara beberapa kalangan masyarakat muslim, lebih
memandang bahwa keabsahan dari sisi agama, lebih penting karena mengandung
unsur ukhrawi yang lebih menentramkan, sementara sisi duniawi tadi
adalah unsur pelengkap yang bisa dilakukan setelah unsur utama terpenuhi. Dari
sinilah kemudian kasus nikah siri atau nikah dibawah tangan merebak menjadi
fenomena tersendiri di Indonesia.
1.
Pengertian Pernikahan Sirri
Dalam salah satu kitab karangan Imam Malik al-Mudawwanah,
yang diterjemahkan oleh Muhammad Sahnun bin Sa’id at-Tanukhi, menjelaskan bahwa
nikah sirri adalah nikah yang secara sengaja dirahasiakan oleh pihak-pihak yang
terlibat dalam pernikahan tersebut.[1]
Sedangkan definisi nikah sirri dalam pengertian yurids di Indonesia
adalah pernikahan yang dilakukan secara syar’i (konteks fiqh) dengan diketahui
orang banyak, namun tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Oleh karena itu,
yang membedakan antara nikah sirri dan bukan adalah Akta Nikah sebagai bukti
adanya pernikahan.[2]
Adapun pengertian pernikahan siri yang sering
diartikan oleh masyarakat umum terbagi menjadi tiga, yaitu:[3]
a)
Pernikahan tanpa wali.
Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali
perempuan tidak setuju, atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali,
atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi
ketentuan-ketentuan syariat;
b)
Pernikahan yang sah
secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak alasan
yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatan sipil negara. Ada yang karena alasan biaya, ada pula yang disebabkan
karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri karena
nikah lebih dari satu dan alasan lainnya;
c)
Pernikahan yang
dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. Misalnya karena takut
mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap
tabu pernikahan siri, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa
seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat digaris bawahi bahwa nikah sirri
adalah pernikahan yang dilakukan secara syar’i, namun dengan sengaja
dirahasiakan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya dengan berbagai alasan
pembenaran untuk melakukannya.
2.
Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Pernikahan Sirri di
Indonesia
Syukri Fathudin AW dan Vita Fitria, berdasarkan hasil penelitiannya
menjelaskan bahwa beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan
sirri antara lain adalah sebagai berikut:[4]
a)
Nikah
sirri dilakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh kedua orang tua pihak
atau salah satu pihak. Misalnya orang tua kedua pihak atau salah satu pihak berniat
menjodohkan anaknya dengan pilihan mereka;
b)
Nikah
sirri dilakukan karena adanya hubungan terlarang, misalnya salah satu atau
kedua pihak sebelumnya pernah menikah secara resmi dan telah mempunyai istri
atau suami yang resmi, tapi ingin menikah lagi dengan orang lain;
c)
Nikah
sirri dilakukan dengan alasan seseorang merasa sudah tidak bahagia dengan
pasangannya, sehingga timbul niat untuk mencari pasangan lain;
d)
Nikah
sirri dilakukan dengan dalih untuk menghindari dosa karena zina;
e)
Nikah
sirri dilakukan karena pasangan merasa belum siap secara materi dan sosial;
f)
Nikah
sirri sering ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika seseorang hendak
berpoligami sengan sejumlah alasan tersendiri;
g)
Nikah
sirri dilakukan karena pasangan memang tidak tahu dan tidak mau tahu prosedur
hukum;
h)
Nikah
sirri dilakukan hanya untuk penjajakan dan menghalalkan hubungan badan saja.
Bila setelah menikah ternyata tidak ada kecocokan maka akan mudah
menceraikannya tanpa harus melewati prosedur yang berbelit-belit dalam
persidanga;
i)
Nikah
sirri dilakukan untuk menghindari beban biaya dan prosedur administrasi yang
berbelit-belit; dan
j)
Nikah
sirri dilakukan karena alasan beda agama.
Sedangkan Masnun Tahir (2011), menyebutkan bahwa faktor-faktor yang
melatarbelakangi terjadinya praktik pernikahan sirri, terutama di Indonnesia,
antara lain adalah sebagai beikut:[5]
a)
Persoalan
ekonomi, pelaku nikah sirri sebagian besar memiliki latar belakang ekonomi
menengah ke bawah. Sehingga mereka beralasan melakukan nikah sirri karena biaya
yang mahal jika mau melakukan pencatatan pernikahan di KUA maupun catatan sipil
dan untuk melakukan pesta atau hajatan;
b)
Persoalan
pendidikan, pelaku nikah sirri kebanyakan memiliki latar belakang pendidikan
rendah, sehingga pengetahuan mereka tentang perjanjian yang ada dalam
pernikahan harus diwujudkan dalam “hitam di atas putih” sangat terbatas;
c)
Persoalan
agama, cara pemahaman terhadap agama dan penafsiran terhadap teks-teks hadits
tentang pernikahan yang kurang tepat;
d)
Persoalan
membudayanya nikah sirri yang kemudian menjadi pendorong tersendiri terhadap
maraknya perilaku nikah sirri. Hal ini terjadi karena pengaruh dari penafsiran
agama yang kurang tepat, yang pada akhirnya menjadi kultur masyarakat yang
dianggap tidak bermasalah; dan
e)
Adanya
pluralisme hukum dalam tradisi hukum Indonesia yaitu hukum adat pribumi, hukum
Islam, dan hukum sipil.
3.
Hukum Pernikahan Sirri Dalam Pandangan Islam
Secara umum dalam kaidah fiqh nikah sirri adalah sah jika terpenuhi
dari segi rukun dan syaratnya. Hal ini sesuai dengan yang dimuat dalam
Kompelasi Hukum Islam Pasal 4, pernikahan adalah sah apabila dilakuka menurut
hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan.[6]
Namun terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama’. Golongan
ulama konservatif-klasik mengatakan bahwa nikah sirri adalah sah. Selama sesuai
dengan aturan agama Islam, yakni terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Sedangkan
golongan ulama kontemporer-modern mengatakan bahwa nikah sirri tidak sah dan
termasuk perbuatan ynag tida etis. Pasalnya, kebanyakan
dari pelaku nikah sirri tidak memenuhi hak-haknya atau tidak memenuhi
kewajibannya sebagai suami sebagaimana mestinya. Begitu juga, hal ini akan
merugikan pihak perempuan sebagai Istri yang dimata hukum memperoleh perlakuan
yang sama dan seimbang.[7]
Adapun hukum nikah sirri dalam pandangan Islam menurut pendapat
ulama Hizbut Tahrir Indonesia dapat digolongkan berdasarkan tiga pengertian
nikah sirri yang dipahami oleh masyarakat umum, yaitu:[8]
a.
Pernikahan
Tanpa Wali
Adapun mengenai pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang
seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah
hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw
bersabda:
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu
pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali
Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke
2648].
Kata ”laa” pada hadits
menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana
pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh
hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah
bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها
باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka
pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul
Authar VI: 230 hadits ke 2649]
Abu Hurairah ra juga
meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي
التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak
boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan
dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita)
yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad
Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan
tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada
Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum
menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam
pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan
ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan
sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi
penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
b.
Pernikahan
yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara
(catatan sipil atau KUA)
Adapun fakta pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak
dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus
dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak
mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara.
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat,
dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga
berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap
kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika
perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang
wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah
mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah
ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan
yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh
dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di
dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan
sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau
mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut;
pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain
sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci
Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi
negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan,
dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan
di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal
sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya,
pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang
digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai
berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini
telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun
tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
c.
Pernikahan
yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu
Terdapat tiga hadis yang terkait dengan larangan terhadap nikah
sirri (dirahasiakan), yakni:
pertama, anjuran Nabi SAW agar mengumumkan pernikahan:
“umumkan pernikahan dan pukullah rebana”.
kedua, ketidak
sukaan Nabi merahasiakan pernikahan:
“dari Hasan
bahwasannya Nabi SAW membenci nikah yang dirahasiakan”.
ketiga, anjuran nabi
agar mengadakan walimah (perayaan pernikahan):
اَوْلِمْ وَلَوْبِشَاةٍ
“ adakan walimah walaupun
dengan seekor kambing”.(HR. Bukhari
dan Muslim)
Dari beberapa petunjuk hukum diatas maka dapat dipahami bahwa Nabi Saw.
tidak menyukai pernikahan secara sirri (tersembunyi), meski pada masa Nabi dan
periode awal Islam pencatatan sebagai bukti tertulis suatu pernikahan memang
belum dilakukan. Hal ini bisa di maklum karena pada waktu itu sarana alat
tulis, kemampuan tulis menulis sangat terbatas, tradisi tulisan belum
berkembang di masyarakat. Dan pada saat itu keberadaan Nabi sebagai imam dan
khalifah dirasa telah cukup menjadi penentu sah atau tidaknya suatu pernikahhan
sehingga pencatatan suatu pernikahan belum dibutuhkan. Munculnya hadis Nabi
yang menyuruh untuk mengumumkan perkawinan, adalah dilatarbelakangi oleh
diadakannya semacam hiburan untuk mengumumkan perkawinan dan tindakan seperti
ini di setujui oleh Nabi.
C.
Simpulan
Pernikahan sirri dapat diartikan sebagai pernikahan yang sah secara
agama akan tetapi sengaja dirahasiakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
pernikahan tersebut.
Beberapa faktor yang turut melatarbelakangi maraknya nikah sirri di
Indonesia di antaranya ialah: faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor agama,
faktor budaya, dan faktor adanya pluralisme hukum dalam hukum di Indonesia.
Secara umum dalam kaidah fiqh nikah sirri adalah sah jika terpenuhi
dari segi rukun dan syaratnya. Namun terdapat perbedaan pendapat di antara para
ulama’. Golongan ulama konservatif-klasik mengatakan bahwa nikah sirri adalah
sah. Selama sesuai dengan aturan agama Islam, yakni terpenuhinya syarat dan
rukun nikah. Sedangkan golongan ulama kontemporer-modern mengatakan bahwa nikah
sirri tidak sah dan termasuk perbuatan ynag tida etis. Pasalnya, kebanyakan dari pelaku nikah sirri tidak memenuhi
hak-haknya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagai suami sebagaimana mestinya.
Begitu juga, hal ini akan merugikan pihak perempuan sebagai Istri yang dimata
hukum memperoleh perlakuan yang sama dan seimbang.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syaiful dkk. 2008. Antologi Pemikiran Hukum Islam di
Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah.
Departemen Agama RI. 1999/2000. Kompilasi Hukum Islam Di
Indonesia. Jakarta.
Fathudin AW, Syukri dan Vita Fitria. 2009. Problematika Nikah
Sirri dan Akibat Hukumnya bagi Perempuan. Yogyakarta: Jurnal Hasil
Penelitian Agama UIN Sunan Kalijaga.
Sodiq, Mochamad (ed). 2004. Telaah Ulang Wacana Seksualitas.
Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga.
Tahir, Masnun. 2011. Meredam Kemelut Kontroversi Nikah Sirri.
Yogyakarta: Jurnal Al-Mawarid.
SUMBER
LAIN:
Ma’ruf, Farid (Hizbut Tahrir Indonesia). 2009. Hukum Islam Tentang Nikah Siri. Website: http://konsultasi.wordpress.com/2009/03/14/hukum-islam-tentang-nikah-siri/html.com
diakses pada 01/04/2014. 20.11.
Tabrani, Imam.
http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/113-skripsi-al-ahwal-al-syakhshiyyah/515-nikah-sirri-perspektif-tuan-guru-di-kota-banjarmasin-kalimantan-selatan.
diakses pada 07/04/2014. 22:48.
[1] Syaiful Anwar
dkk, Antologi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Fakultas
Syari’ah, 2008), hlm. 133.
[2] Mochamad Sodiq
(ed), Telaah Ulang Wacana Seksualitas, (Yogyakarta: PSW UIN SuKa, 2004),
hlm. 258.
[3]
Farid Ma’ruf (Hizbut Tahrir Indonesia), Hukum Islam Tentang
Nikah Siri, 2009, Website: http://konsultasi.wordpress.com/2009/03/14/hukum-islam-tentang-nikah-siri/html.com
diakses pada 01/04/2014. 20.11.
[4] Syukri
Fathudin AW dan Vita Fitria, Problematika Nikah Sirri dan Akibat Hukumnya
bagi Perempuan, (Yogyakarta, Jurnal Hasil Penelitian Agama UIN Sunan
Kalijaga, 2009), hlm. 26-28.
[5] Masnun Tahir, Meredam
Kemelut Kontroversi Nikah Sirri, (Yogyakarta, Jurnal Al-Mawarid Vol. XI,
no. 2, 2011), hlm. 132-134.
[6] Departemen
Agama RI Tahun 1999/2000, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta.
[7]Imam Tabrani.
http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/113-skripsi-al-ahwal-al-syakhshiyyah/515-nikah-sirri-perspektif-tuan-guru-di-kota-banjarmasin-kalimantan-selatan.
diakses pada 07/04/2014. 22:48.
Halo semua,
BalasHapusNama saya nur syarah kota Bogor di Indonesia, saya ingin menggunakan media ini untuk memberi saran kepada semua orang untuk berhati-hati dalam mendapatkan pinjaman di sini, sehingga banyak kreditur pinjaman di sini adalah scammers dan mereka hanya di sini untuk menipu Anda dari uang Anda. , Saya mengajukan pinjaman sekitar 150 juta dari seorang wanita di Filipina dan saya kehilangan sekitar 10 juta tanpa mengeluarkan pinjaman, mereka berkali-kali meminta bayaran, saya membayar hampir 10 juta uang jadi saya tidak mendapat pinjaman, disana Saya menunjukkan kepada saya sekitar 2 kali dari dua wanita yang berbeda di Filipina, saya harap saya akan bertemu dengan orang yang tepat, tapi ternyata tidak.
Tuhan menjadi kemuliaan, saya bertemu dengan seorang teman yang baru saja mengajukan pinjaman, dan dia mendapat pinjaman tanpa tekanan, jadi dia mengenalkan saya kepada Mrs. Margaret pedro, CEO Margaret, perusahaan pinjaman pedro, dan saya mengajukan 420 juta, saya Anggap itu adalah lelucon dan kecurangan, tapi saya mendapat pinjaman saya dalam waktu kurang dari 24 jam hanya 2% tanpa agunan. Saya sangat senang karena saya selamat dari kemiskinan.
Jadi saya saran semua orang di sini yang membutuhkan pinjaman untuk dihubungi
Mrs Margaret pedro melalui email: margaretpedroloancompany@gmail.com
Anda masih bisa menghubungi saya jika Anda memerlukan informasi lebih lanjut melalui email: nursyarah36@gmail.com
Sekali lagi terima kasih untuk membaca kesaksian saya, dan semoga Tuhan terus memberkati kita semua dan memberi kita umur panjang dan kemakmuran